Dalam menciptakan karyanya, seorang penulis tentunya membutuhkan pelbagai hal yang vital dimiliki, dua di antaranya adalah kemampuan menulis dan karakteristik tulisan yang menjadi modal bagi penulis, serta luasnya wawasan yang mendukung kekuatan tulisan penulis tersebut.
“Setiap penulis memiliki ciri khas dalam tulisannya
masing-masing. Jangan mencoba untuk menyerupai gaya menulis seorang penulis
sohor. Cobalah untuk menandinginya dengan gaya tulisan sendiri.” Ujar Hilman
Indrawan, S.Pd.I, penulis buku Monolog Ujung Toga pada acara Seminar Pelajar
yang diadakan oleh HIMA Persis, di Jl. Banjaran Kab. Bandung, Ahad (19/4) lalu.
“Satu hal lagi yang tidak mungkin menjadikan seorang penulis
menjadi penulis adalah dengan hanya ingin menjadi penulis semata tanpa melatih
tangannya untuk menulis. Dengan kata lain, sering-sering menulis adalah cara
paling efektif untuk memunculkan serta menonjolkan karakteristik tulisan
seorang penulis.” Tambahnya.
Memang benar. Tanpa adanya usaha dan latihan, sesuatu tidak
akan pernah terjadi. Termasuk dalam hal tulis menulis. Hanya dengan sering
menulis, dan rutin membuat jadwal menulis menjadi faktor yang sangat penting
untuk menjadi seorang penulis.
Pada acara yang sama, Dr. Hari Sudrajat, M.Pd menjelaskan
bahwa seorang penulis harus memiliki wawasan yang luas dan mesti terus mencoba
untuk memperluas wawasan untuk memperkuat apa yang ditulis oleh seorang
penulis.
“Seorang penulis harus bisa membaca.” Katanya singkat.
Hari menjelaskan, yang dimaksud membaca di sini ialah
seorang penulis harus bisa menggunakan indera yang dimilikinya semaksimal
mungkin. Membaca artinya merasakan dengan indera. Seperti mengecap rasa dengan
lidah, mencium dengan hidung, melihat dengan mata, mendengar dengan telinga dan
meraba dengan kulit.
Semua indera itu mesti digunakan untuk hal yang lebih dalam
dari penafsiran ungkapan ’membaca’, yaitu mengamati. Seorang penulis yang sudah
bisa membaca situasi dan kondisi harus menyempurnakan keadaannya dengan
mengamati secara lebih detail kondisi yang sedang terjadi. Kemudian penulis
harus membungkusnya dengan tulisan yang kata-kata di dalamnya telah dibumbui
oleh keselarasan bahan dan minat pembaca.
Keterampilan penulis dalam memilih kata yang selaras dengan
minat pembaca menjadi hal yang sangat penting, mengingat data survei pada tahun
2012 Indonesia berada di posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam kebutuhan dasar penduduk termasuk ‘melek
huruf’. Indonesia sebagai Negara berpenduduk 165, 7 juta jiwa lebih hanya
memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun yang artinya satu buku
di Indonesia dibaca oleh lima orang.
Miris memang melihat keadaan minat baca penduduk Indonesia
yang bertolakbelakang dengan negara lain yang lebih memperhatikan minat baca
masyarakatnya.
Oleh karena itu, dua hal nan vital tadi selamanya jangan
pernah terpisah dari diri seorang penulis. Karena perubahan tidak akan terjadi
dengan diam, seorang penulis harus berani bergerak serta berkreasi dengan
menciptakan tulisan-tulisan yang menggerakkan minat baca masyarakat Indonesia
dan menciptakan generasi pecinta baca yang mana hanya dengan membaca pintu
semua gudang ilmu akan terbuka selebar-lebarnya.
Bio Penulis :
Muhammad Yasin, seorang santri bernama pena Tinta Merah ini
lahir di kota Sleman, 25 Juni 1999. Berstatus sebaga anak rantauan di Bandung
untuk menimba ilmu, meninggalkan kota ia dibesarkan, Cianjur demi mengejar cita
dan harapnya.
Bagaimana dengan seorang suka menulis tapi tidak suka membaca ?
BalasHapus